Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa dua kalimat syahadah merupakan
dasar sah dan diterimanya semua amal. Kedua kalimat ini memiliki makna,
syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus diketahui, diyakini, diimani
dan diamalkan oleh seluruh kaum Muslimin.
Makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah:
لاَ مَعْبُوْدَ بِِِِِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ.
“Tidak ada sesembahan yang berhak di ibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah), dan kesalahan tersebut telah
menyebar luas. Di antara kesalahan tersebut adalah:[[1]
1. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ مَعْبُوْدَ
إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah), padahal makna
tersebut rancu karena jika demikian, maka setiap yang diibadahi, baik
benar maupun salah, berarti Allah.
2. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ
اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah), padahal makna tersebut
merupakan sebagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan ini
masih berupa Tauhid Rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Inilah yang
diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
3. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ
إِلاَّ اللهُ (tidak ada hakim (penguasa) kecuali Allah), pengertian ini
pun tidak mencukupi karena apabila mengesakan Allah hanya dengan
pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Penguasa saja namun masih berdo’a
kepada selain-Nya atau menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu
selain-Nya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.
Syarat-Syarat Kalimat [2] لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Syarat Pertama: اَلْعِلْمُ (al-‘ilmu)
Yaitu mengetahui arti kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah).
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah...” [Muhammad: 19]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Melainkan mereka yang mengakui kebenaran, sedang mereka orang-orang yang mengetahui.” [Az-Zukhruf: 86]
Yang dimaksud dengan “mengakui kebenaran” adalah ke-benaran kalimat laa
ilaaha illallaah. Sedangkan maksud dari “sedang mereka orang-orang yang
mengerti” adalah mengerti dengan hati mereka apa yang diucapkan dengan
lisan.
Dalam hadits shahih dari Sahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia
masuk Surga.”[3]
Syarat Kedua: اَلْيَقِيْنُ (al-yaqiin)
Yaitu yakin serta benar-benar memahami kalimat laa ilaaha illallaah tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan
dirinya, merekalah orang-orang yang benar.” [Al-Hujuraat: 15]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
...أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ لاَ
يَلْقَى اللهَ بِهِمَا عَبْدٌ، غَيْرَ شَاكٍّ فِيْهِمَا، إِلاَّ دَخَلَ
الْجَنَّةَ.
“... Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali hanya Allah dan bahwasanya aku (Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam) adalah utusan Allah, tidaklah seorang hamba menjumpai
Allah (dalam keadaan) tidak ragu-ragu terhadap kedua (syahadat)nya
tersebut, melainkan ia masuk Surga.”[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
...اذْهَبْ بِنَعْلَيَّ هَاتَيْنِ، فَمَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا
قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ...
“... Pergilah dengan kedua sandalku ini, maka siapa saja yang engkau
temui di belakang kebun ini yang ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dengan hati yang
meyakininya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan masuk
Surga.” [5]
Maka, syarat untuk masuk Surga bagi orang yang mengucap-kannya, yaitu
hatinya harus yakin dengannya (kalimat Tauhid) serta tidak ragu-ragu
terhadapnya. Apabila syarat tersebut tidak ada maka yang disyaratkan
(masyrut) juga tidak ada. Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
اَلْيَقِيْنُ اْلإِيْمَانُ كُلُّهُ وَالصَّبْرُ نِصْفُ اْلإِيْمَانِ.
“Yakin adalah Iman secara keseluruhan, dan sabar adalah sebagian dari iman.”[6]
Tidak ada keraguan lagi bahwasanya orang yang yakin dengan makna laa
ilaaha illallaah, seluruh anggota tubuhnya akan patuh beribadah kepada
Allah Azza wa Jalla yang tiada sekutu bagi-Nya, dan akan mentaati
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena inilah Sahabat
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu memohon ditambahkan iman dan keyakinan
dengan berdo’a:
اَللَّهُمَّ زِدْنَا إِيْمَانًا، وَيَقِيْنًا، وَفِقْهًا.
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan kefahaman.” [7]
Syarat Ketiga: اْلإِخْلاَصُ (al-ikhlaash)
Yaitu memurnikan amal perbuatan dari segala kotoran-kotoran syirik, dan mengikhlaskan segala macam ibadah hanya kepada Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“... Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik)...” [Az-Zumar: 2-3]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah hanya kepada
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya...” [Al-Bayyinah: 5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفاَعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.
“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat nanti
adalah orang yang mengucapkan: ‘Laa ilaaha illallaah,’ dengan ikhlas
dari hati atau jiwanya.” [8]
Syarat Keempat: اَلصِّدْقُ (ash-shidqu)
Yaitu jujur, maksudnya mengucapkan kalimat ini dengan disertai
pembenaran oleh hatinya. Barangsiapa lisannya mengucapkan namun hatinya
mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِين َيُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا
يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Dan di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah
dan hari kemudian,’ padahal mereka itu sesung-guhnya bukan orang-orang
yang beriman. Mereka hendak me-nipu Allah dan orang-orang yang beriman,
padahal mereka hanyalah menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak
sadar.” [Al-Baqarah: 8-9]
Juga firman Allah Azza wa Jalla tentang orang munafik:
قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ
“... Mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah...’” [Al-Munafiquun: 1]
Kemudian Allah Azza wa Jalla mendustakan mereka dengan firman-Nya:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“... Dan Allah mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan-Nya dan Allah
bersaksi bahwasanya orang-orang munafik itu berdusta.” [Al-Munaafiquun:
1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى
النَّارِ.
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah,
dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya masuk
Neraka.”[9]
Syarat Kelima: اَلْمَحَبَّةُ (al-mahabbah)
Yaitu cinta, maksudnya mencintai kalimat tauhid ini, men-cintai isinya dan apa-apa yang ditunjukkan atasnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman, sangat besar cinta
mereka kepada Allah....” [Al-Baqarah: 165]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ: مَنْ
كاَنَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ
يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ.
“Tiga perkara yang bila ketiga-tiganya terdapat pada seseorang ia akan
mendapatkan kelezatan iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai
daripada selain keduanya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena
Allah, (3) tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah
menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak suka dicampakkan ke dalam
api.”[10]
Syarat Keenam: اْلإِنْقِيَادُ (al-inqiyaad)
Yaitu tunduk dan patuh. Seorang Muslim harus tunduk dan patuh terhadap
apa-apa yang ditunjukkan oleh kalimat laa ilaaha illallaah, hanya
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengamalkan
syari’at-syari’at-Nya, beriman dengan-Nya, dan berkeyakinan bahwasanya
hal itu adalah benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong
(lagi).” [Az-Zumar: 54]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
berserah diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan dia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya.” [An-Nisaa': 125]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ
اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ
الْأُمُورِ
“Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”
[Luqman: 22]
Syarat Ketujuh: اَلْقَبُوْلُ (al-qabuul)
Yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari kalimat syahadat ini,
menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan ibadah kepada
selain-Nya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mentaati,
maka ia termasuk dari orang-orang yang difirmankan Allah Azza wa Jalla :
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ
مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha
illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allah)’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: ‘Apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena
seorang penyair gila?” [Ash-Shaaffaat: 35-36]
Ini seperti halnya penyembah kubur di zaman ini. Mereka mengikrarkan:
“Laa ilaaha illallaah,” tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan mereka
terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna:
“Laa ilaaha illallaah.” [11]
Rukun Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu:
1.النَّفْيُ, yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. اْلإِثْبَاتُ, yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
“... Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kokoh dan
tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
[Al-Baqarah: 256]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ
مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk
menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut
itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).” [An-Nahl: 36]
Makna Kalimat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad Rasulullah) [12]
Makna dari syahadat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad Rasulullah) adalah:
1. طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
2. تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.
3. اِجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
4. أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah
kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan. Artinya,
kita wajib beribadah kepada Allah menurut apa yang disyari’atkan dan
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib
ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentang makna dan konsekuensi kalimat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) akan dibahas lebih lanjut
pada point ke-24: Wajibnya Mencintai dan Mengagungkan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal.253).
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhid (hal. 39-40) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Ab-dullah al-Fauzan.
[2]. Tentang syarat-syarat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ lihat Ma’aarijul
Qabuul (I/333-339) oleh Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakami, Tuhfatul Ikhwaan
bi Ajwibah Muhimmah Tata’allaqu bi Arkaanil Islaam (hal. 24-26) oleh
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz dan ‘Aqiidatut Tauhiid (hal.
42-45) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan.
[3]. HR. Muslim (no. 26), Ahmad (I/65, 69) dan Abu ‘Awanah (I/7), dari Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu.
[4]. HR. Muslim (no. 27) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Muslim (no. 31) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq dan pasti.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Riwayat ini dimaushulkan (disambungkan)
oleh Imam ath-Thab-rani (no. 8544), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud,
dengan sanad yang shahih.” (Fat-hul Baari (I/48)).
[7]. Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam
as-Sunnah (I/368, no. 797) dan al-Laalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad
Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1704). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fat-hul Baari (I/48) menyatakan bahwa sanadnya shahih.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 99 dan 6570) dan Ahmad (II/373), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32) dari hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 16, 21, 6041) dan Muslim (no. 43 (67)), dari Sahabat Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[11]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 44).
[12]. Lihat Syarah Tsalaatsil Ushuul (hal. 75) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.